Iklan

ArtikelInspirasiKabar IslamiKiriman Pembaca

Ketika Rasulullah Dua Kali Patah Hati, Seperti Ini Reaksinya

Dompu Siar
, Sunday, July 18, 2021 WAT
Last Updated 2021-07-19T04:56:52Z
(Pict: Isabella Photography)

Oleh: Ika Humaira

Kiriman Anda, Dompu Siar - Begitulah! Begitu romantisnya Sang Kekasih Allaah Rasulullaah, Muhammad Salallaahu Alaihi Wa Salam. Ketika cintanya ditolak, beliau sedikitpun tidak menampakkan rasa masam. Apalagi memperlihatkan ekspresi kemarahan. 

Tidak ... Maka pantaslah beliau dijuluki tauladan yang mulia bagi segenap ummat di muka bumi ini. Sosoknya yang sungguh bersahaja, melengkapi kelembutan dalam sikapnya, sifatnya bahkan tutur katanya. 

Dalam sebuah kisah, yang diriwayatkan lewat hadist-hadist shahih, sebagaimana media melansir media umma, dari dream co.

Sahabat umma, hampir setiap orang pernah mengalami patah hati. Entah karena cintanya ditolak, lamarannya tidak bersambut, bahkan bercerai.

Sejatinya tak ada yang salah dalam pengalaman patah hati. Orang semulia dan sebaik Rasulullah SAW pun pernah mengalaminya. Bahkan hingga dua kali. Kenapa demikian?

Dikutip dari beberapa sumber, sebelum Rasullah SAW menikahi Khadijah pada usia 25 tahun, pada 5 tahun sebelumnya beliau telah bertemu dengan cinta pertamanya. Siapakah dia?

Ya, dia adalah anak dari paman Rasulullah SAW yakni Abu Tholib yang bernama Fakhitah. Ia adalah putri keempat Abu Thalib yang juga dikenal dengan sebutan Ummu Hani.

Pada masa itu, rasa cinta tumbuh di antara keduanya. Saat usia Rasulullah menginjak 20 tahun, beliau mantap untuk meminang sepupunya itu.

Namun malang, pinangannya ditolak karena dia harus bersaing dengan Hubayrah, putra saudara ibu Abu Tholib yang berasal dari Bani Makhzum, juga telah melamar Fakhitah.

Ternyata Abu Tholib telah memiliki rencana lain. Jika saja waktu itu Rasulullah datang lebih cepat menemui Abu Tholib, bisa jadi ceritanya akan lain. Karena, sebelum Rasulullah datang menemui pamannya itu, Umm Hani telah dilamar Hubayrah.

Hubayrah dikenal sebagai seorang penyair handal kala itu. Ia juga berilmu dan bijak, layaknya Abu Tholib sendiri. Selain itu, alasan Abu Tholib menikahkan putri cantiknya itu karena Hubayrah adalah orang kaya raya. Ditambah, kekuasaan Bani Makhzum di Mekah demikian meningkat seiring kian merosotnya kekuasan Bani Hasyim.

Diketahui pada saat itu, Aminah bin Wahab yang juga Ibu dari Rasulullah bersuku sama dengan Hubayrah yakni Bani Makhzum. Demi menjaga hubungan baik itulah, akhirnya Umm Hani dinikahkan dengan Hubayrah.

“Pamanku,” kata nabi. “Mengapa kau tidak menikahkannya padaku?” tanyanya lembut.

Tatkala keponakannya itu kembali mendekati, Abu Tholib hanya tersenyum dan menjawabnya, “Mereka telah menyerahkan putri mereka untuk kita nikahi.”

Perkataan itu merujuk pada ibunda nabi sendiri, Aminah ibn Wahab, yang juga merupakan gadis dari suku yang sama dengan Hubayroh.

“Maka, seseorang pria yang baik haruslah membalas kebaikan yang sama dengan apa yang telah mereka berikan pada kita,” tambah Abu Thalib.

Akhirnya, Rasulullah pun menerima dengan lapang dada. Karena, beliau paham betul dengan tradisi Arab saat itu. Beliau juga sadar bahwa Fakhitah ditakdirkan oleh Allah SWT bukan untuk bersanding dengan dirinya. Bahkan beliau berdoa untuk kebahagiaan mereka berdua.

Tak lama kemudian, Rasulullah bertemu dengan Khadijah yang saat itu mempekerjakannya sebagai pedagang. Dan tepat pada usia 25 tahun, Rasulullah meminang Khadijah, seorang janda kaya raya.

Kisah cinta Rasulullah memang menjadi kisah cinta paling romantis sepanjang sejarah Islam. Selain terkenal sebagai istri salihah, Khadijah juga selalu menjadi sahabat nabi di kala suka dan duka.

Namun kisah cinta itu harus berhenti, tatkala Khadijah yang saat itu berumur 65 tahun meninggalkan Rasulullah untuk selama-lamanya. Rasulullah pun mengalami kehilangan dan kepedihan yang amat besar hingga tak berkeinginan untuk menikah lagi.

Kalau saja Allah SWT tidak memerintahkan Rasulullah SAW untuk menikah, maka pastilah beliau tidak akan menikah selama-lamanya.

Sedangkan pernikahan setelah itu hanya karena tuntutan risalah Nabi SAW, beliau sejatinya tidak pernah dapat melupakan istrinya walaupun setelah 14 tahun Khadijah meninggal.

Saat Rasulullah diangkat menjadi nabi dan rasul, Umm Hani menjadi pengikutnya. Keputusan memeluk Islam membuat Umm Hani berpisah dengan suaminya, Hubayrah yang enggan masuk Islam. Ketika sudah menjadi janda, Umm Hani mengurus empat anaknya sendirian.

Setelah ditinggal wafat Khadijah, Rasulullah sempat kembali melamar sepupunya tersebut. Cinta pertamanya. Namun, Rasulullah kembali ditolak. Jika dulu pamannya yang menolak, kini Umm Hani yang menolak lamaran Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, tidak ada wanita yang tak ingin menjadi istrimu, begitu pula denganku. Aku memiliki banyak anak. Jika aku menikah denganmu, aku bingung harus memilih berat ke mana. Kalau aku berat kepada suami, aku takut menelantarkan anak-anakku yang masih kecil, dan jika aku berat kepada anak, aku takut zalim kepada hak suamiku. Daripada aku menjadi orang yang zalim, maaf saya tidak bisa menerima lamaranmu."

Lagi-lagi, Rasulullah mengikhlaskan Umm Hani. Kisah ini tentunya dapat dijadikan pelajaran bagi kita dalam memaknai patah hati. Patah hati tak perlu ditangisi sepanjang hari, berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi jika sampai mengutuk perpisahan.

Mulailah belajar menerimanya dengan lapang dada. Tak perlu resah dan gelisah. Mungkin saja, patah hati diciptakan untuk saling membenahi diri agar menjadi lebih baik lagi. Jadikan patah hati sebagai cara untuk menjadi pribadi yang tepat dan membahagiakan. (Red)

SepekanMore