Iklan

AspirasiKota BimaOpiniRangga BabujuSosialita

Marina Inn Dan Nisa Sabiyan Viral, Rangga Babuju: Hati-hati Pakai Istilah Pelakor

Dompu Siar
, Saturday, February 20, 2021 WAT
Last Updated 2021-02-21T06:39:45Z
Julhaidin, SE (Rangga Babuju), Kota Bima


Oleh: Julhaidin, SE (Rangga Babuju)

Judul Asli : Fenomena 'Marina Iin' dan Nisa Sabiyan di Jagat Nitizen Bima; Upaya Sistematis Untuk Menciptakan Kehidupan Yang Saling Mencurigai Hingga Fitnah Yang Terbiasa. (Budayakan Membaca Hingga Akhir)

---------------------

Seminggu terakhir, beranda dunia maya dipenuhi dengan ungkapan-ungkapan 'panas', soal Rumah Tangga orang lain dan hubungan orang lain. Kata 'pelakor' akhir-akhir ini menjadi tranding topic di searching engine google dan Facebook di Indonesia.

Kata itu menjadi yang paling sering disebut dan diungkap. Baik sebagai ungkapan makian maupun ungkapan pernyataan (positif dan negatif). Dan kata (ungkapan) itu kemudian menjadi tranding. Dan semakin menjadi 'simbolitas'. Menjadi 'gelar' yang diberikan kepada seorang perempuan yang memiliki hubungan khusus dengan lelaki yang bukan pasangannya (baik bagi yang belum menikah maupun yang sudah menikah).

Ada ke khawatiran pribadi saya, tentang penggunaan kata ini sebagai 'gelar' yang akan menjadi 'simbol', kelak.

Pelakor (Perebut Laki Orang), sebelum kata ini dikenal, kita mengenal istilah selingkuh (umum), yaitu seseorang yang menjalin hubungan asmara atau cinta dengan orang lain, sementara dirinya atau pasangannya juga punya hubungan asmara dengan yang lain dalam waktu yang sama. 

Sebelum istilah selingkuh ini dikenal, ada istilah yang lebih 'halus' lagi, yakni, pihak ketiga. Atau orang yang memiliki hubungan atau menjalin asmara dengan dua orang sekaligus secara diam-diam dalam satu waktu.

Kekhawatiran saya adalah, simbol 'Pelakor' terus digaungkan dan digunakan secara masif untuk mencaci atau memaki orang lain (wanita), maka ia akan menjadi biasa dan dilawan dengan sikap berupa tantangan. Ironi nya, 'Gelar' Pelakor kerap disandangkan pada Perempuan cantik dan seksi. Ada semacam upaya generalisasi men-stigma bahwa wanita tidak boleh cantik dan seksi.

Ada 'momok' secara psikologi bagi seorang perempuan, bila mendengar, mendapati dan atau disebut sebagai pelakor (terlepas benar atau tidak). Akan muncul jiwa dendam dan atau sejenis balas dendam. Apalagi kita kerap mendengar atau menghadapi kenyataan ungkapan 'daripada basah, lebih baik mandi sekalian'. 

Pembiasaan penyebutan kata 'Pelakor' sebagai simbol dalam interaksi Komunikasi, akan melahirkan hubungan kausalitas dan sekaligus relativitas. 

Perempuan akan lebih posesif dan protektif dalam membangun hubungan. Pasangan menjadi objek cemburu dan atau prasangka. Ketika protektif (cemburuan) itu dibangun, tentu saja hubungan rumah tangga atau hubungan dengan pasangan selalu dipenuhi dengan curiga yang berlebih-lebihan. Akibatnya, akan muncul fenomena 'Hubungan (sekedar) Persinggahan'. 

Di samping itu, sesuatu yang dibiasakan akan menjadi terbiasa dan kemudian TAK ANEH dan LUMRAH. Yang artinya, dimasa yang akan datang, PELAKOR itu adalah hal biasa dan lumrah, sebagai ujian rumah tangga. BUDAYA NIKAH CERAI pun akan menjadi Lumrah dan biasa, karena 'gelar' Pelakor mendominasi 'wajah' perempuan cantik dan karir.

Sementara di posisi lelaki, pengendali kehidupan bukan lagi takut Pada Tuhan, tapi takut akan Sanksi Sosial. Yang muncul kemudian adalah 'Nakal, jangan lokalan. Nakal yang baik adalah Nakal diluar daerah', karena bagi lelaki, 'Makan Sate buang Tusuk, lebih aman ketimbang pelihara kambing hanya untuk sekedar ingin menyicip sate'.

Akhirnya, hidup berpasangan itu menjadi sekedar tuntutan, bukan lagi sebagai tuntunan. Menikah hanya sebagai Identitas, sementara kebahagiaan dan ketenangan ada pada kebebasan. Sebab, hidup dibawah tekanan 'kacamata sosial' dan 'gelar sosial' itu akan menjebak manusia dengan alibi sebagai pembenaran.

Agama akhirnya hanya sebatas Identitas Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara perilaku dan simbol interaksi sosial menjadi Liberal. 

Hilanglah tuntunan 'Sakinah, Mawadah, Warahmah'. Istri tak lagi mendoakan Rejeki Suami karena pikiran didominasi oleh Su'udzon akibat banyaknya wanita yang 'bergelar' Pelakor. Dan Suami tak lagi betah di rumah karena kehidupannya saban hari diintrogasi! Liberallah Akhirnya Hidup Kita.

Hati-hati dalam menggunakan dan membiasakan istilah, simbol dan gelar di tengah masyarakat sosial kita. Sebab, anak cucu kitalah yang akan menjadi korban dari apa yang kita bangun hari ini.

----------------

Kota Bima, 21 Februari 2021.

SepekanMore